1.
SEBUAH PEMAHAMAN
“Dalam ilmu sejarah yang kita dalami, verstehen kita tentang suatu kejadian penting
tidak akan pernah sama…
Namun apakah itu akan berlaku mutlak dengan
apa yang kita rasakan sekarang?”
Udara
dingin masih mengungkungi tubuhnya yang terlelap ketika adzan subuh
berkumandang. Lamat-lamat, tapi terdengar jelas suara adzan bersahutan
membangunkan umatNya yang senantiasa beriman untuk melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang muslim. Mata yang masih terkantu-kantuk itu pun perlahan
membuka. Dikuat-kuatkannya menahan sergapan rasa kantuk yang masih mendera.
Memang hanya rasa letih yang dia rasakan setelah masa ospek menguras habis
tenaga dan pikirannya. Ingin ia tertidur sangat lelap dan dalam, namun tak
bisa.
Sejurus
kemudian ia mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikkan sholat subuh.
Sekalipun tubuhnya letih, ia masih bisa menikmati ketenangan yang menyusup
halus ke dalam setiap gerakan sholatnya. Ia sangat menikmati ibadahnya, sangat
menikmati ketenangan yang ada. Baginya tiada yang lebih menyegarkan ketika
sekaan air wudhu membasahi wajahnya. Ia sangat khusyu’, hingga akhirnya salam
dan ia lanjutkan dengan berdzikir. Ia kemudian berdoa, dan doa yang terus
berulang sejak dia masih SMA. Doanya agar semakin mencintai Allah, semakin kuat
menghadapi cobaan, dilapangkan rejeki dan ilmunya serta barokah, dan mendoakan
almarhumah ibundanya agar mendapatkan tempat terindah di sisi Allah.
Setelah
sholat dia membuka kamar kosnya yang terletak di lantai paling atas di bangunan
3 lantai tersebut. Dia menoleh kiri kanan, semua pintu kos masih tertutup
kecuali kamarnya. Dia melangkah pelan menuju lantai menuju balkon atas. Memandang
sekeliling dan merasakan kesegaran udara pagi yang masih perawan belum
terkotori oleh polusi asap-asap kendaraan. Samar-samar terlihat Merapi berdiri
dengan gagahnya berhiaskan asap yang keluar dari puncaknya. Dia terdiam
menikmati semua anugerah yang sungguh indah ini. Teringatlah ayat surat Ar
Rahman yang banyak diulang-ulang, “Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau
dustakan?”
Dirinya
sungguh sangat bersyukur dengan keadaan yang sekarang, dengan hidup yang
berkecukupan, pendidikan yang terjamin, makan juga tidak takut kekurangan. Uang
beasiswa S2 yang ia terima tiap bulan sudah lebih dari apa yang dibutuhkannya.
Kini ia tak perlu memikirkan apa-apa lagi kecuali fokus untuk segera menggondol
gelar Master di bidang sejarah, sesuatu yang sangat ia idamkan dari dulu.
“Alhamdulillah
Ya Rabb, atas semua anugerah yang sangat indah ini. Kuatkan hati dan pikiranku
Ya Allah”, gumamnya pelan.
Dia
kembali menapaki anak tangga untuk masuk ke kamar kosnya, menyiapkan buku-buku
dan lembaran paper yang akan menjadi materi kuliahnya hari ini. Di dinding
kamar kosnya ada secarik kertas lusuh yang menempel di dinding. Kertas yang
berisi berbagai pengharapan untuk masa depan pendidikannya yang perlahan mulai
terpenuhi. Ketas itu sudah ada ketika ia masih menempuh pendidikan S1 beberapa
tahun lalu di Surabaya. Berharap ia akan menjadi seorang professor di bidang
sejarah sosial, Prof. Dr. Bayu Sancaka S.Hum.,M.A. Kini ia bersiap mandi dan
bergegas untuk menimba ilmu tentang sejarah, bidang yang sangat dia cintai
semenjak dahulu.
Yogyakarta
pagi itu sangat cerah, padahal masih terhitung dalam musim hujan. Beberapa kali
hujan membasahi Yogyakarta, namun hanya lewat saja. Hanya sebentar turun untuk
sekedar membasahi tanah dan Pepohonan rindang. Jalanan ramai oleh kendaraan
roda dua yang sebagian besar didominasi oleh para pelajar. Bayu juga tak mau
ketinggalan untuk menjadi bagian dari keramaian tersebut, meskipun dia tahu
beberapa ruas jalan akan sedikit macet. Ia mengecek kembali apa saja yang
dibawanya. Setelah semuanya siap, ia turun ke pelataran kos tempat di mana
motor para penghuni kos diparkirkan. Beberapa agenda sudah menantinya di hari
itu.
Sejenak
dia mencolokkan earpiece ke handphonenya dan memutar lagu-lagu yang sekiranya
cocok untuk didengarkan sepanjang perjalanan. Sejurus kemudian ia mulai
menghidupkan motor dan memanasi mesinnya agar selalu terjaga performanya.
Selagi menunggu beberapa menit untuk memanasi mesin motornya, ia kembali
mengecek ulang apa saja yang dibawanya hari ini. Setelah siap, Bayu berangkat
ke kampus tercintanya.
Benar
saja, jalanan kota Yogyakarta sudah ramai dengan aktivitas manusia dan deru
laju kendaraan. Hanya sedikit yang menggunakan sepeda onthel, selebihnya
jalanan penuh sesak oleh mobil dan motor. Namun tampaknya Bayu masih bisa
menikmati suasana rame, dan sambil bergumam pelan menirukan lagu yang terputar.
Di sebuah lampu merah dekat daerah Pojokan Benteng, dia berhenti. Sejenak dia
mengambil handphone dan melihat jam serta mengganti lagu.
“Masih
banyak waktu”, gumamnya pelan sambil menekan-nekan layar handphonenya. Kali ini
ia sangat ingin mendengarkan sebuah lagu dari Letto yang berjudul Senyumanmu.
Entah apa yang sebenarnya dirasakan Bayu, hanya dia yang mengerti. Yang pasti,
ada semacam kerinduan terhadap lagu itu. Lampu merah berganti hijau dan Bayu
melanjutkan perjalanannya.
“Oh..
Bukanlah cantikmu yang ku cari, bukanlah itu yang aku nanti…”
Bayu
bergumam pelan menyanyikan bait demi bait yang terdengar jelas di telinganya.
Dia terbawa suasana rindu tapi tak mengerti rindu kepada siapa. Melewati sebuah
tikungan ke arah kampusnya, dia sempat melihat sesosok gadis berseragam SMA
yang akan masuk ke SMA Negeri 3 Yogyakarta. Dia sedikit memelankan laju
kendaraannya dan ingat kepada siapa rasa rindu yang tiba-tiba mengalun bersama
lagu Letto yang sedang ia dengarkan. Ya, Bayu teringat seseorang yang sangat ia
kenal betul. Seseorang yang masih bersabar menunggu Bayu menggondol gelar
Master di bidang sejarah. Seseorang yang jauh di sana, terpisah jarak beratus-ratus
kilometer.
Begitu
nikmatnya Bayu mendengarkan alunan nada-nada dan kata-kata sederhana namun
indah dari Letto, sampai dia tersadar dia sudah ada di dekat kampusnya.
Universitas Gajah Mada, tempat ia sekarang menimba ilmu, mencurahkan segala
daya dan upayanya demi mengejar cita-citanya sebagai seorang sejarawan.