Rabu, 04 Maret 2015

Episode 1

1. SEBUAH PEMAHAMAN

“Dalam ilmu sejarah yang kita dalami, verstehen kita tentang suatu kejadian penting
tidak akan pernah sama…
Namun apakah itu akan berlaku mutlak dengan apa yang kita rasakan sekarang?”

            Udara dingin masih mengungkungi tubuhnya yang terlelap ketika adzan subuh berkumandang. Lamat-lamat, tapi terdengar jelas suara adzan bersahutan membangunkan umatNya yang senantiasa beriman untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Mata yang masih terkantu-kantuk itu pun perlahan membuka. Dikuat-kuatkannya menahan sergapan rasa kantuk yang masih mendera. Memang hanya rasa letih yang dia rasakan setelah masa ospek menguras habis tenaga dan pikirannya. Ingin ia tertidur sangat lelap dan dalam, namun tak bisa.
            Sejurus kemudian ia mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikkan sholat subuh. Sekalipun tubuhnya letih, ia masih bisa menikmati ketenangan yang menyusup halus ke dalam setiap gerakan sholatnya. Ia sangat menikmati ibadahnya, sangat menikmati ketenangan yang ada. Baginya tiada yang lebih menyegarkan ketika sekaan air wudhu membasahi wajahnya. Ia sangat khusyu’, hingga akhirnya salam dan ia lanjutkan dengan berdzikir. Ia kemudian berdoa, dan doa yang terus berulang sejak dia masih SMA. Doanya agar semakin mencintai Allah, semakin kuat menghadapi cobaan, dilapangkan rejeki dan ilmunya serta barokah, dan mendoakan almarhumah ibundanya agar mendapatkan tempat terindah di sisi Allah.
            Setelah sholat dia membuka kamar kosnya yang terletak di lantai paling atas di bangunan 3 lantai tersebut. Dia menoleh kiri kanan, semua pintu kos masih tertutup kecuali kamarnya. Dia melangkah pelan menuju lantai menuju balkon atas. Memandang sekeliling dan merasakan kesegaran udara pagi yang masih perawan belum terkotori oleh polusi asap-asap kendaraan. Samar-samar terlihat Merapi berdiri dengan gagahnya berhiaskan asap yang keluar dari puncaknya. Dia terdiam menikmati semua anugerah yang sungguh indah ini. Teringatlah ayat surat Ar Rahman yang banyak diulang-ulang, “Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?”
            Dirinya sungguh sangat bersyukur dengan keadaan yang sekarang, dengan hidup yang berkecukupan, pendidikan yang terjamin, makan juga tidak takut kekurangan. Uang beasiswa S2 yang ia terima tiap bulan sudah lebih dari apa yang dibutuhkannya. Kini ia tak perlu memikirkan apa-apa lagi kecuali fokus untuk segera menggondol gelar Master di bidang sejarah, sesuatu yang sangat ia idamkan dari dulu.
            “Alhamdulillah Ya Rabb, atas semua anugerah yang sangat indah ini. Kuatkan hati dan pikiranku Ya Allah”, gumamnya pelan.
            Dia kembali menapaki anak tangga untuk masuk ke kamar kosnya, menyiapkan buku-buku dan lembaran paper yang akan menjadi materi kuliahnya hari ini. Di dinding kamar kosnya ada secarik kertas lusuh yang menempel di dinding. Kertas yang berisi berbagai pengharapan untuk masa depan pendidikannya yang perlahan mulai terpenuhi. Ketas itu sudah ada ketika ia masih menempuh pendidikan S1 beberapa tahun lalu di Surabaya. Berharap ia akan menjadi seorang professor di bidang sejarah sosial, Prof. Dr. Bayu Sancaka S.Hum.,M.A. Kini ia bersiap mandi dan bergegas untuk menimba ilmu tentang sejarah, bidang yang sangat dia cintai semenjak dahulu.


            Yogyakarta pagi itu sangat cerah, padahal masih terhitung dalam musim hujan. Beberapa kali hujan membasahi Yogyakarta, namun hanya lewat saja. Hanya sebentar turun untuk sekedar membasahi tanah dan Pepohonan rindang. Jalanan ramai oleh kendaraan roda dua yang sebagian besar didominasi oleh para pelajar. Bayu juga tak mau ketinggalan untuk menjadi bagian dari keramaian tersebut, meskipun dia tahu beberapa ruas jalan akan sedikit macet. Ia mengecek kembali apa saja yang dibawanya. Setelah semuanya siap, ia turun ke pelataran kos tempat di mana motor para penghuni kos diparkirkan. Beberapa agenda sudah menantinya di hari itu.
            Sejenak dia mencolokkan earpiece ke handphonenya dan memutar lagu-lagu yang sekiranya cocok untuk didengarkan sepanjang perjalanan. Sejurus kemudian ia mulai menghidupkan motor dan memanasi mesinnya agar selalu terjaga performanya. Selagi menunggu beberapa menit untuk memanasi mesin motornya, ia kembali mengecek ulang apa saja yang dibawanya hari ini. Setelah siap, Bayu berangkat ke kampus tercintanya.
            Benar saja, jalanan kota Yogyakarta sudah ramai dengan aktivitas manusia dan deru laju kendaraan. Hanya sedikit yang menggunakan sepeda onthel, selebihnya jalanan penuh sesak oleh mobil dan motor. Namun tampaknya Bayu masih bisa menikmati suasana rame, dan sambil bergumam pelan menirukan lagu yang terputar. Di sebuah lampu merah dekat daerah Pojokan Benteng, dia berhenti. Sejenak dia mengambil handphone dan melihat jam serta mengganti lagu.
            “Masih banyak waktu”, gumamnya pelan sambil menekan-nekan layar handphonenya. Kali ini ia sangat ingin mendengarkan sebuah lagu dari Letto yang berjudul Senyumanmu. Entah apa yang sebenarnya dirasakan Bayu, hanya dia yang mengerti. Yang pasti, ada semacam kerinduan terhadap lagu itu. Lampu merah berganti hijau dan Bayu melanjutkan perjalanannya.
            “Oh.. Bukanlah cantikmu yang ku cari, bukanlah itu yang aku nanti…”
            Bayu bergumam pelan menyanyikan bait demi bait yang terdengar jelas di telinganya. Dia terbawa suasana rindu tapi tak mengerti rindu kepada siapa. Melewati sebuah tikungan ke arah kampusnya, dia sempat melihat sesosok gadis berseragam SMA yang akan masuk ke SMA Negeri 3 Yogyakarta. Dia sedikit memelankan laju kendaraannya dan ingat kepada siapa rasa rindu yang tiba-tiba mengalun bersama lagu Letto yang sedang ia dengarkan. Ya, Bayu teringat seseorang yang sangat ia kenal betul. Seseorang yang masih bersabar menunggu Bayu menggondol gelar Master di bidang sejarah. Seseorang yang jauh di sana, terpisah jarak beratus-ratus kilometer.
            Begitu nikmatnya Bayu mendengarkan alunan nada-nada dan kata-kata sederhana namun indah dari Letto, sampai dia tersadar dia sudah ada di dekat kampusnya. Universitas Gajah Mada, tempat ia sekarang menimba ilmu, mencurahkan segala daya dan upayanya demi mengejar cita-citanya sebagai seorang sejarawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar