Minggu, 03 Mei 2015

EL NINO DAN CERITA MEI INI: BROMO (LAGI)

EL NINO DAN BROMO

El Nino? Iya, sebuah kata atau lebih tepatnya sebuah nama yang semakin ramai diperbincangan di berbagai perkumpulan orang-orang pintar. Pintar membuat perkiraan musim-musim di seantero dunia, dan juga pintar membuat musim-musim yang bergantian menyapa kita menjadi sedikit lebih menyebalkan. El Nino adalah sebuah kesalahan, bagi semua manusia yang hidup di zamrud khatulistiwa ini. Sudah waktunya menemui hangatnya matahari, tapi masih harus saja bertemu dengan sendunya awan mendung dan hujan. Tuhanku berfirman bahwa hujan adalah rahmat, tapi sosok El Nino membuatnya menjadi bencana. Banjir, apakah rahmat yang didatangkan berlebihan? Bukan, itu disebut musibah...

Namun bagiku dan kelima teman-temanku, bermacam cuaca yang kita temui tidak akan merubah apa yang sangat kita inginkan di awal bulan ke-5 tahun ini. El Nino sepertinya berusaha mempermainkan tekat dan niat kami, tapi kita bisa membuktikan bahwa El Nino bisa berjalan bersama kita bergandengan tangan. Seperti teman akrab yang tak bertemu dalam waktu yang sangat lama...

Pagi itu di akhir April...
Benda hitam itu terus bergetar, sebentar berkedap-kedip merah. Jari-jariku dengan santai menekan layar benda itu, menuliskan beberapa pesan kepada teman-temanku. The time has come, persiapkan diri kalian semua, hanya itu intinya. Time? Waktu? Iya waktunya sudah tiba, waktu untuk bermesraan dengan segarnya udara dingin pegunungan, membelai cantiknya bunga-bunga yang bermekaran di atas awan. Setelah mempersiapkan semua perbekalan, kita memulai perjalanan panjang. Sudah terbayang bagaimana indahnya suguhan yang Tuhan akan berikan kepada kita. Kita sudah disambut dengan guyuran hujan di siang hari. Syukurlah, perjalanan kami menjadi sejuk. Kita berlima menuju kota yang identik dengan logo hiu dan buaya, bertemu dengan karib yang sedianya akan menemani kita berlima. Namun guyuran hujan membuat tekad bulatnya menjadi berbagai macam segi, sehingga muncul jawaban untuk menikmati hujan dari kamarnya saja. Masih di tengah hujan kita berbincang kecil, dan membulatkan tekad sekali lagi. Surga Tuhan di dunia ini sudah menunggu kita!

Malam itu di akhir April...
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, hujan akhirnya berhenti menemani kita di Nongkojajar. Berganti dengan langit dan hiasannya memayungi perjalanan kita. Mungkin hujan iba karena gara-gara dia, dua teman kita terjatuh karena jalan yang kita lewati menjadi licin. Setelah sedikit susah payah melewati kelokan jalan yang seperti ular, kami sampai di Wonokitri. Segera kami beristirahat, menghemat tenaga kita untuk menyapa dinginnya pagi buta di bumi Tengger. Kopi dan Antangin menjadi pilihan kami berlima untuk sedikit menjauhkan dingin...

Secangkir kopi susu panas...

Me...

Bang Nopal dan Martha...

Bang Ali "Bende"...

Bang Ali "Gulali"...
Selepas menikmati hangatnya kopi, Antangin, dan sebungkus besar keripik, kita kembali ke tempat pemberhentian kita, menyiapkan hotel berbintang dan berbulan. Hotel yang sangat mewah karena dibingkai dengan hangatnya kebersamaan. Kita sejenak memejamkan mata, beristirahat, mengusir rasa penat dan hawa dingin yang lama-lama menusuk ke dalam kulit. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa tenang terpejam. Ratusan kuda besi mulai memenuhi tempat pemberhentian, ramai riuh manusia mulai memadati Wonokitri. Akhirnya kita semua terjaga, hanya tersisa Bang Ali "Gulali" yang tertidur...

Masih ngantuk om...

Kedinginan...

Lagi ngobrol,mau naik jam berapa?

Akibat keseringan liat cewek cantik di sana...

Martha..the beauty among the beast...

sedikit pose...

kata Bang Nopal, mereka ini orang Lokasi (Lokasi: sentra industri di Kec. Wringinanom, Kab. Gresik., red)

Di pagi buta awal Mei itu...
Ketika waktu menunjukkan pukul 3 pagi, maka kami harus berbenah. Hotel berbintang dan berbulan yang kita bangun, kita robohkan lagi. Kita berkemas, mempersiapkan tekad yang bisa menghangatkan badan ketika menembus dinginnya Wonokitri. Tujuan pertama kita berlima adalah sebuah tempat di puncak dinding pegunungan Tengger bernama Puncak Penanjakan. Deru kuda besi dan sorot lampu remang-remang menembus gelapnya pagi, raungan jeep juga memecah keheningan pagi itu. Kita menyusuri jalan dengan tenang, hanya ditemani remang sinar bulan purnama, Sikap hati-hati yang akan menjaga perjalanan kita...
Pukul 4 pagi kami berlima sudah berada di tempat pemberhentian di Puncak Penanjakan. Kita melanjutkan perjalanan dengan kaki kita, menjejak tanah Tengger yang basah karena hujan dan juga embun pagi. Pelan namun pasti, kita menyusuri jalanan yang memang menanjak. Sang surya masih belum mau bangun dari peraduannya, dan sekali lagi kopi menjadi teman kita pagi buta itu

Without me, karena saya sibuk makan bakso

Pukul 04.30, kami berlima memutuskan untuk naik ke Puncak Penanjakan. Di atas sana sudah penuh sesak manusia, dan kita termasuk di dalam keramaian tersebut. Namun berada di tengah mereka yang sedang menunggu sang surya bangun, membuat kita merasa hangat dan tidak tersiksa dengan dinginnya udara pagi di atas ketinggian 2.770 meter...
Karena mendung masih setia menemani ufuk timur, maka sang surya tidak bisa menunjukkan wajahnya yang rupawan. Sinar hangatnya terlambat menghangati ratusan manusia di atas Puncak Penanjakan. Aku sadar, harusnya El Nino sudah pergi karena Mei bukan merupakan waktu untuk hujan membasahi. Mei adalah waktu bagi sang surya untuk menghangati bumi. Pelan tersibak, lautan awan yang menutupi Bromo dan sebagian tubuh Batok yang menyembul di tengah lautan awan. Tampak kejauhan Mahameru menampakkan dirinya, seolah mengatakan ingin menikmati indahnya pagi...

 Menjelang matahari terbit...

 Sudah terbit...

Dan katakan Selamat Pagi, Indonesia!

Kita berlima juga tidak mau melewatkan pemandangan indah seperti ini. Kita sudah mengabadikan waktu yang sangat berharga ini, untuk diceritakan lepada anak cucu kelak bahwa Indonesia punya alam seindah ini...

 Dia gak sadar sarung tangannya cuma satu..

 Pose dulu...

 Martha kegirangan liat Bromo...

 Ada patung Jalasveva di Penanjakan

 Bang Nopal in action...

 Cheese...!



 From Penanjakan with Love...

 YAPers...

 Para YAPer in action

 Bang Ali "Bende" in action

Menuju ke lautan pasir Bromo, Tuhan masih menyuguhi pemandangan indah di sepanjang jalan yang menurun. Cantiknya ciptaan Tuhan itu memang tidak pernah bisa dilukiskan dengan ribuan kata. Cukup satu kata: cantik. Dan sekali lagi kita mengabadikan momen indah tersebut...

 Entah Martha ngliatin apa

Bang Ali "Gulali"

 Me...

 Bang Nopal

 Mantab...

 Bang Nopal, berharap bisa melihat jodohnya di puncak Batok...

 Saya juga sama kayak Bang Nopal

 Martha liat artis Korea kali ya?

 Selpie...

 Tim YAPer

Orang Papua

Selepas itu kita sampai di lautan pasir Bromo. Hamparan pasir hitam dan savana menyambut kita, kabut menyelimuti kita. Kita berjalan pelan dan menikmati indahnya pasir Bromo, walaupun kuda besi kita sedikit tertatih-tatih menyusuri pasir Bromo. Kita berlima sampai di anak tangga Bromo, dan dengan sisa-sisa tenaga kita naik ke puncak Bromo. Hanya niat dan tekad yang membuat kita sampai di puncak Bromo

 YAPers di puncak Bromo

 YAPers in action

 Bang Nopal in action

 Bang Ali "Bende" in action

 Bang Ali "Gulali": Merasa bebas?

 Puas karena sudah turun dari puncak Bromo dengan lancar

 Wajah kalian?

 Pak Ngadimin

 Pak Sudirman

Pak Sukirman dan Pak Sukija

Siang itu di awal Mei..
Sesampainya di lautan pasir setelah Bromo menyuruh kita turun dengan asap belerangnya, kita bergegas menuju perbukitan hijau di balik jajaran Bromo dan Batok. Mereka mengenalnya dengan nama Bukit Teletubbies. Jalanan pasir tidak menghambat perjalanan kita. Sepanjang jalan kita disuguhi pemandangan indah dari balik Bromo serta pegunungan yang mengelilingi kaldera Bromo. Sungguh hijau dan menentramkan mata dan jiwa. Paru-paruku sangat bersahabat dengan udara sejuk di sana. Kita memutuskan untuk singgah sejenak dan beristirahat di dalam hotel berbintang dan berbulan yang selalu kita bawa

 Bukit Teletubbies hijau..

 Me and Bang Ali Gulali"

 Bang Ali "Bende" before accident

 Perbukitan yang mengelilingi Bromo...

 Si cantik Martha bawain kopi buat kita

 Secangkir kopi hangat dari Bukit Teletubbies...

 Bang Nopal lagi ngopi...

 Aku juga ngopi...

Harusnya setelah bersantai menikmati keindahan Bukit Teletubbies kita sedianya menuju ke Air Terjun Madakaripura. Namun dalam perjalanan El Nino menyapa kita dengan hujannya yang lebat. Akhirnya kita hanya bisa beristirahat menunggu guyuran hujan El Nino hingga sedikit reda dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah...

Akhir kata, hanya tekad dan keyakinan yang mampu membuat kita meikmati suguhan Tuhan yang Maha Cantik ini... Semoga Tuhan tetap memberi kesempatan untuk mengunjungi surga-surga duniaNya di Indonesia tercinta ini...

--- From Bromo With Love ---