Kamis, 15 Januari 2015

SEJARAH MASA KINI, SEJARAH UNTUK MASA DEPAN (Bagian 2)



HISTORIOGRAFI DAN HITAM PUTIH SEJARAH INDONESIA


Jumpa lagi gaess dengan saya, orang yang suka masa lalu. Eitss, bukan gak bisa move on loh ya! Move on kok terus, yang lain kenapa? Hahaha... Oke kali ini saya mau nyambung postingan pertama saya tempo hari. Perlu dicatat, biar kata postingannya agak-agak lucu (apa cuma saya yang bilang gitu?) tapi makna dari pembahasan WHAT IS HISTORY itu mahal dan dalam. Mahal karena saya baru bisa bikin postingan kayak gitu setelah menempuh kuliah S1 selama 6 tahun :D

Postingan kali ini merupakan postingan yang agak sedikit lebih berat. Topik yang saya pilih kali ini adalah HISTORIOGRAFI. Kalo dalam metode ilmu sejarah, historiografi ini merupakan metode terakhir dalam penelitian sejarah. Historiografi adalah proses penulisan sejarah dari apa yang sudah kita teliti. Misalnya kalian mungkin ada yang neliti tentang perkembangan cewek cabe-cabean dari masa kolonial sampe pasca kemerdekaan, nah hasil penelitian itu kemudian disusun secara sistematis menjadi suatu kesatuan utuh yang didukung dengan data-data dan berbagai macam sumber, sehingga bisa dinikmati khalayak ramai. Maka kalian akan tahu seputar cewek cabe-cabean beserta berbagai macam aspek perkembangan, seperti pola hubungan, dandanan, sampe fashion mereka huahahaha :D

Ngomong-ngomong tentang historiografi, ada suatu permasalahan klasik yang menurut saya menggelitik sekaligus menimbulkan pemikiran panjang. Sebelumnya saya akan memberi sedikit trivia quiz sama kalian...




Di atas adalah sebuah persegi yang berwarna hitam. Yup, mungkin kalian-kalian orang awam pasti bilang warnanya hitam. Tapi tidak dengan saya, saya dengan lantang akan bilang kalo kotak itu warnanya polkadot (lu uda buta ya mas?) Iya kenapa saya bilang itu polkadot. Saya mencoba memberi pemahaman yang lebih mendalam bagi kalian yang sudah "mbatin" saya sudah buta. Saya memakai pendekatan ilmu filsafat untuk bisa berani berkata itu kotak warnanya polkadot. Warna hitam bisa tersusun karena banyaknya titik-titik berwarna hitam yang memenuhi suatu tempat tertentu yang memiliki warna latar putih. Sudut saya berbeda karena saya memiliki pemahaman yang berbeda tentang deskripsi warna hitam. Jujun S. Sumantri berkata dalam salah satu bukunya, cukup tahu di tahunya dan cukup tahu di tidak tahunya.

Saya tidak bermaksud sombong dengan pertanyaan dan statement saya di atas. Saya ingin menekankan, bagi teman-teman yang (masih) menyepelekan sejarah, adik-adik kelas saya yang masih berjuang dengan seminar,proposal,dan skripsinya, teman-teman saya yang belum lulus, historiografi kita erat dengan hitam putihnya sejarah yang sudah tertulis di Indonesia. Sekalipun Mbah Sartono Kartodirdjo sudah membuka jalan historiografi sejarah Indonesia lebih indonesiasentris, tetap saja tidak bisa terlepas dengan apa yang namanya hitam putih itu.


Semua orang pasti tahu tentang gambar berlatar belakang merah menyala itu. Yup, itu adalah logo Partai Komunis Indonesia (ada yang mlesetin Partai Keadilan Indonesia). PKI itu erat dengan hitam putih historiografi Indonesia. Banyak sejarawan lokal maupun internasional yang menulis tentang PKI. Mulai dari Ben Anderson (sejarawan Cornell University,red) sampai para pelaku sejarah di peristiwa pemberontakan G 30 S tahun 1965. Menurut hemat saya, PKI "diduga" menjadi terdakwa dalam peristiwa itu. Saya tidak berusaha menghakimi bahwa PKI salah karena terlibat dalam penculikan beberapa jenderal Angkatan Darat, dan juga tidak membenarkan tentang ide-ide PKI. Jujur, saya sendiri pada awalnya adalah seorang yang anti PKI. Hal itu tak lepas dari campur tangan pemerintah pada masa Orba untuk menanamkan pemahaman ke dalam setiap kepala rakyat Indonesia bahwa PKI dan komunisme merupakan bahaya laten. Pemerintah Orba mendoktrin semua lapisan masyarakat dengan metode yang cukup jitu: film Peristiwa Pengkhianatan G30S/PKI. Pun halnya dengan laporan peristiwa G 30 S, pemerintah Orba menerbitkan sebuah "buku putih" yang judulnya panjang banget kayak rambut mbak kunti. Disebut buku putih karena sampulnya didominasi warna putih hahahaha...




Nah adek-adek kelas saya yang cantik-cantik, itu loh buku putihnya. Saya sempat membacanya, membandingkan dengan buku-buku sejenis yang bukan diterbitkan pihak Republik. Terkesan pemerintah Orba sangat menghakimi bahwa PKI adalah dalang. Namun dalam riset kecil saya itu (padahal kuliah juga jarang masuk hehehehe) saya menemukan fakta bahwa sebenarnya beberapa petinggi PKI malah tidak tahu dengan peristiwa G 30 S tersebut. Entah tidak tahu entah pura-pura tidak tahu entah yang lainnya. Njoto, petinggi CC PKI yang juga menjadi Menteri Negara, di saat hari-H malah ada kunjungan kerja ke Medan. Letkol Untung melalui pledoinya di Mahmilub (kosakata gaul itu hahaha) menjelaskan bahwa dia "direstui" Mayjend Soeharto untuk "menyikat habis" jenderal yang mau mengkudeta RI-1. Padahal yang napsu jadi presiden ya Pak Harto, ya kan? Sampe populer bilang :Piye, Sek Enak Jamanku Tho?" #akurapopo

Dari penjelasan di atas bisa dilihat benang merah topik postingan kali ini. Buku putih itu, adalah historiografi pemerintah Orba pada masanya. Setelah Orba runtuh, muncul berbagai macam tulisan yang (berusaha) membeberkan fakta yang ditutup-tutupi pemerintah Orba. Pemerintah hanya memandang PKI hanya dari sudut "hitam"nya saja. Sementara pasca reformasi, tulisan-tulisan yang muncul kemudian malah terkesan menyalahkan tindakan militer dan mengatakan PKI hanyalah korban. Pak Karno sebgai RI 1 juga bilang, PKI itu keblinger pengen ada di puncak. Terlepas dari penjelasan di atas, kalian tahu sendiri kan dampaknya apa? Adek-adek yang sering ke Bapersip Jatim, tau kan dampaknya? Gara-gara tulisan pemerintah Orba, maka stigma yang melekat tentang PKI itu cenderung jelek dan negatif. Bukan saya mendukung lho ya, saya cuma mengamati. Saya sebagai sejarawan (amatir) tidak memihak kepada pihak manapun. Kapasitas saya hanyalah sebagai enthusiast, penikmat sejarah, dan menjelaskan sejauh yang saya tahu kepada kalian dan mbak-mbak cantik.




Kita mundur sejenak ke jaman revolusi kemerdekaan gaess. Tau kan foto di atas? Tau kan Dek? Foto abang sewaktu jadi pejuang... Iya, pejuang hatimu hahahaha
Yup, itu foto Bung Tomo, salah satu pahlawan kebanggaan arek Suroboyo. Dia berperan besar dalam menggerakkan segenap rakyat Surabaya untuk mempertahankan Surabaya dari gempuran Belanda pada pertempuran 10 November. Kalian juga akan spontan menjawab, rakyat Surabaya bertempur melawan penjajah. Itu benar gaess, tidak salah sama sekali. Tapi apakah ada yang mencoba melihat ini dari sudut pandang lain. Misalnya pembantaian orang-orang Belanda yang populer dengan sebutan "Senin Berdarah". Remaja-remaja Walanda yang masih unyu-unyu pada waktu peristiwa pertempuran 10 November pasti akan ingat betul dengan peristiwa "Senin Berdarah" itu. Coba deh Adek browsing di laptopnya Adek, kalo bisa nemu penjelasan "Senin Berdarah", Abang kasih Adek status baru, jadi istri Abang :D
Peristiwa "Senin Berdarah" merupakan peristiwa kecil yang sangat sedikit sekali yang mengungkapkan tapi memiliki efek psikologis yang buruk bagi para remaja Walanda unyu-unyu yang waktu itu masih netap di Surabaya. Adanya pembantaian yang dilakukan oleh sekelompok arek Suroboyo terhadap orang-orang Belanda di Simpang Societeit (Balai Pemuda gaess). Inilah yang tidak diungkap oleh kebanyakan sejarawan di masa kini. Mereka memandang suatu peristiwa penting dalam konteks umumnya, tanpa berani memandang konteks yang lebih kecil namun bisa jadi lebih penting daripada konteks umumnya. Historiografi sejarah selama ini hanya membahas seputar pertempurannya saja. Sekali lagi, ada sedikit rasa menghakimi bahwa Belanda adalah penjajah yang harus dilawan, sementara ada sekelompok orang Belanda yang tidak tahu menahu tentang perang itu malah menjadi korban keberingasan arek-arek Suroboyo yang meletup-meletup akibat pertempuran 10 November.

Saya menjelaskan seperti itu bukan berarti saya pro penjajah. Saya cinta Indonesia, KTP saya warga negara Indonesia, dan saya cinta kamu, Dek hahaha... Saya hanya menyajikan fakta yang tidak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Sebagai pertanggungjawaban, saya ada film dokumenternya gaess. Asli dari Belanda, dengan sudut pandang orang Belanda yang menjadi korban, bukan sebagai penjajah. Sekali lagi, historiografi harus lebih adil dalam porsi penulisan sejarah. Maksud saya, tidak hanya membahas hal-hal yang umum melulu, kan hal-hal umum itu awalnya berasal dari hal-hal yang bisa dibilang gak umum, namun karena memori kolektif masyarakat serta tanggapan masyarakat atas suatu peristiwa itulah yang menjadikan hal tersebut menjadi umum dan menimbulkan sudut pandang secara massal.

Bisa disimpulkan dari 2 penjelasan saya di atas bahwa dalam konteks tradisi historiografi sejarah Indonesia, masih banyak yang memandang satu masalah hanya pada satu sisi. PKI yang dianggap pemberontak, Belanda yang dianggap penjajah. Pendapat tersebut benar tapi juga tidak benar? Lho, kok bisa? Ya bisa lah, gue gitu loh :D
Saya tidak mengatakan salah, kalo salah ya pasti tidak ada yang benar. Saya cukup bilang tidak benar, berarti ada beberapa yang salah. Oke, historiografi itu sendiri sudah ada sejak jaman dewa-dewa masih mengayomi kehidupan manusia. Mereka menuliskan tentang something important (bukan impoten) pada masa itu. Ambil saja Homerus, penyair kondang dari Yunani. Doi ini nulis tentang kisah perang Troya. Itu lho perang yang pake jaranan (lu kata reog?). Homerus ini menuliskan kisah perang Troya dalam bentuk syair dan puisi. Nah lho, sangat berseni bukan orang jaman dahulu? Sejarah aja jadi puisi (Ingat-ingat pelajaran fungsi sejarah hahaha). Kemudian lahirlah si Bapak Sejarah yang punya nama keren: Herodotus. Dia yang kemudian ngembangin teknik nulisnya Kang Homerus yang sebelumnya bentuk puisi dan syair jadi bentuk prosa. Gak tau prosa? Tanya anak Sastra Indonesia, mereka lebih jago nerangin hahaha... Herodotus mulai menghilangkan unsur mitos dewa dewi dan teologi dalam menulis sejarah, dan mulai menerapkan kajian ilmiah. Tapi ada nih sebagian kalangan yang nganggep Herodotus ini cuma nulis laporan pengamatan doang. Macam anak SMA aja ya? Terlebih lagi sumber-sumber yang digunakan dalam karya Herodotus ini cuma sumber lisan. Ya Adek tahu sendiri lah, mulut manusia bisa berubah-berubah, sekarang sayang, besok uda gak sayang hahahaha...
Ada lagi yang namanya Thucydides, dia yang nulis kisah perang Sparta-Athena yang legendaris itu. Dia merupakan saksi sekaligus pelaku sejarah, dia Jenderal bintang 7 di pasukan Sparta. Di sini dia mulai mengenalkan apa yang dinamakan sebagai kritik sumber gaess. Dan seterusnya bermunculan penulis-penulis sejarah di masa itu. Sampe akhirnya ketemu nih sama Pakdhe Agustinus yang hidup di masa Romawi. Doi ini nulis sebuah manuskrip berjudul De Civitate Dei. Hmmm, namanya kayak adek yang cantik banget itu. Bukan itu, itu bahasa Latin gaess, yang artinya The City of God alias Kota Tuhan (terjemahan bebas Google Translate). Ini yang menjadi pengantar pokok di postingan guwe kali ini. Doi ini membela Romawi dari bangsa tak bertuhan bernama bangsa Visigoth. Ya maksudnya bangsa Visigoth ini masih percaya dewa dewi sementara Roma sudah menjadi negara Kristian. Dia mengatakan dalam bukunya bahwa Kristianitas bukan penyebab Romawi runtuh. Ini karya monumental gaess, De Civitate Dei ini 22 jilid, yang kebanyakan isinya ya membully kaum-kaum pagan. Isinya sih, sekalipun kaum pagan menguasai Romawi gak berarti Romawi bakal bebas dari masalah. Di sinilah saya memutuskan untuk menjadikan tulisan Agustinus itu sebagai patokan. Dia menulis bukan dari hati, dari kemauannya. Dia dipaksa nulis sama teman ngopinya di giras yang bernama Marcellinus. Dia memberikan pembelaan dan hanya memihak kepada satu tema saja: ketuhanan. Dia tidak berusaha mempelajari faktor-faktor yang lain tentang keruntuhan Romawi, misal dari sisi ekonomi atau politik, atau bahkan mungkin sosialnya.

Ini lho yang nantinya juga ditiru oleh sejarawan-sejarawan di masa modern. Seperti kata pepatah yang sering nongkrong bareng guwe di giras, apa yang kau panen itu adalah apa yang kau tanam dahulu. Gaya nulis sejarawan akhirnya cenderung  terkesan hanya pada satu presepsi saja. Kalo merunut pembahasan saya tentang PKI di atas, hal itu bisa jadi benar. Pemerintah juga memiliki kepentingan dalam merekonstruksi memori kolektif rakyat Indonesia bahwa PKI itu seperti ini, seperti itu, macam ini itu dan seterusnya. Seperti halnya Pakdhe Agustinus, dia juga sedikit terpengaruh oleh Lek Marcellinus pada waktu ngomongin politik di giras. Kepentingan bukan? Politik bukan?

Selain itu, masalah "sentris-sentris"-an juga mempengaruhi historiografi. Historiografi tradisional Nusantara misal, maka sentris-nya ya raja-raja, kekuasaan, raja sebagai utusan dewa dan lain sebagainya. Menginjak masa kolonial, sentris-nya ya Nederlandsentris. Pemerintah kolonial menulis segala sesuatunya demi kepentingan di tanah jajahan. Masa pergerakan, ya mulai sentris-nya ke nasionalisme Indonesia baru. Sampe merdeka, masa revolusi, sentris-nya ya sesuai dengan waktu itu. Oiya, namanya zeigeist yang artinya jiwa jaman. Sentris-sentris historiografi itu erat hubungannya dengan jiwa jaman pada waktu itu. (Lu ngarti kagak?) Dalam Seminar Nasional Sejarah yang pertama, sempet ada argumen mengenai historiografi yang ada di Indonesia. Pada waktu itu muncul perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni, karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia.

Terlepas dari penjelasan mbulet plus ruwet itu, historiografi adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap kehidupan dan Tuhan. Lah kok bawa-bawa Tuhan? Yaiyalah, satu-satunya hal yang tidak bisa dilakukan oleh Tuhan adalah merubah sejarah. Berarti sejarawan itu diatasnya Tuhan dong? Terserah kalian mau memikirkan seperti apa, tapi itu sedikit anekdot yang nunjukin kalo kita sebagai sejarawan juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan suatu permasalahan yang sedang kita kaji. Tengok rumusan masalah kalian wahai adek-adek yang cantik dan unyu-unyu, sudahkah kalian mengangkat masalah dengan adil? Makanya ada sebuah ide yang muncul di kala historiografi sejarah di Indonesia masih begini-begitu aja. Yup, pendekatan sejarah secara post-modernisme? Seperti apa itu? Nanti, saya belum belajar hahaha. Sedikit bocoran, baca bukunya Fukuyama yang judulnya agak ngeri, The End of History (adek-adek cantik kalo pengen bukunya, ping me ya :P). Doi nulisnya pake pendekatan post-modern. Secara garis besarnya, pendekatan post-modern ini memandang bahwa segala sesuatu yang ada di kehidupan kita layak untuk dikaji. Jadi misal sejarah PKI, kan yang dibahas culik-menculik doang kan? Pernah nggak ada yang nulis tentang kondisi rumah Pak Nasution? Senapan yang mereka pakai untuk memberondong jenderal-jenderal tersebut? Pendekatan post-modern bisa dijadikan sebagai metode alternatif dalam historiografi sejarah Indonesia di masa modern sekarang. Biar tulisan kita tidak memihak hitam atau putihnya doang, tapi bisa lebih komprehensif dalam menulis suatu penelitian sejarah. Mengenai post-modernisme, nanti lah diagendakan dalam posting selanjutnya.


Historiografi hitam-putih ini juga punya efek samping, persis kalo kalian habis minum obat flu. Dampak lainnya dari historiografi tak lain dan tak bukan adalah berkembangnya MITOS SEJARAH. Saya akan membahas mengenai mitos sejarah dalam posting selanjutnya. Sebagai contoh di sini adalah penjajahan Belanda di Indonesia. Mulai dari orang Papua yang masih pake' koteka sampe cabe-cabean dan terong-terongan pasti tahu tentang hal itu. Pada jaman SD dulu, kalo kita ditanya berapa lama kita dijajah Belanda (kita? lu aja keles). Pasti rame-rame menjawab kompak serempak dijajah selama 350 tahun. Nah pertanyaannya sekarang, emang bener kah Indonesia dijajah Belanda selama itu? Itu nanti Dek, Mbak, Mas, akan saya jelaskan di postingan selanjutnya ;) Di jamin dah kalian akan menjadi (sedikit) lebih pinter membaca blog dan postingan saya ini hahaha. Tapi bisa nemu blog ini gak ya?

Fenomena pemahaman 350 tahun dijajah Belanda, itu juga hasil dari historiografi gaess. Apalagi pada waktu itu Belanda yang punya kuasa di tanah air kita, ngomong asal njeplak pun didenger dan mau gak mau harus diinget. Serius, 350 tahun itu awalnya statement njeplak gaess!!! Tapi karena Belanda jadi meeneer di Indonesia, ya akhirnya sampe sekarang buku-buku sejarah yang beredar masih setia menuliskan Indonesia dijajah 350 tahun. Pikirkan, relakah negerimu dihina seperti itu? (sok nasionalis hahaha)

Makanya Dek, mumpung kalian masih cantik-cantik dan bersemangat, maka selamilah sejarah secara dalam. Maka niscaya kalian akan menemukan betapa indahnya sejarah, dan endingnya mikir ternyata sejarah itu rumit juga ya hahaha serumit memahami isi hatimu Dek :D
Jangan cuma ke Bapersip, ke perpustakaan hanya sekedar mengejar lulus dengan tepat waktu dan IPK bagus. Percayalah dek, lulus tepat waktu itu gak keren. Yang keren adalah lulus di waktu yang tepat hahaha...
Next posting, saya akan membahas mengenai MITOS DAN SIMBOLISASI SEJARAH termasuk membahas fenomena Indonesia vs Belanda selama 350 tahun dan mitos-mitos yang lain...

 -- BERSAMBUNG --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar