Murid dan guru Sekolah THHK Mojokerto, suatu hari di tahun 1953 |
Selamat siang gaess, ane balik lagi dengan postingan yang asli 100% sejarah :D Maafkeun kemarin ane sempet bikin postingan yang isinya galo berat, tapi alhamdulillah sekarnga sudah agak baikan. Oke deh ga usah bertele-tele let's start the lesson ;)
Kali ini ane bakalan cerita panjang lebar mengenai sejarah pendidikan Tionghoa, khususnya dari tulisan ane sendiri yaitu Sekolah THHK Mojokerto. Tapi entah di transkrip nilai peminatan ane malah jadi sejarah kota -_- But, itu semua ga akan mengurangi makna dan esensi dari tulisan ane..
Ane kasih sedikit pengantar (yang panjang) nih biar ente-ente dan Adek-Adek manis yang berusaha ngehits jadi sedikit paham. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas di Indonesia, dengan jumlah yang terbesar di antara yang lain. Mereka ini uda ada sejak jaman kerajaan-kerajaan dulu gaess. Konon katanya mereka sudah ada sejak jaman Majapahit. Waduh, uda lama banget dong? Yaiyalah lama -_- Mereka ini kebanyakan pedagang dan tukang (entah tukang apa asal jangan tukang kibul) dan tidak membawa serta perempuan-perempuan Tiongkok daratan ke Nusantara. Mereka nyebut kawasan Nusantara sebagai Nanyang yang berarti tanah selatan. Akhirnya mereka kimpoi sama cewek pribumi dan muncullah Tionghoa peranakan.
Skip-skip-skip, memasuki tahun 1800-an pemerintah kolonial Walondo mulai nerapin kebijakan "aneh" yang dikenal dengan istilah wijkenstelsel. Wijkenstelsel itu semacem kebijakan yang mengharuskan sebuah kota dibagi tempat tinggalnya berdasarkan ras ato suku. Wow, jadi waktu Walondo nerapin politik pecah belah dan pengkotakan sama bangsa-bangsa yang hidup di Nusantara, khususnya Jawa. Nah ini loh Dek, asal muasal kenapa orang Tionghoa itu (maaf) agak sentimen ke orang-orang pribumi dan juga sebaliknya. Masalahnya itu kompleks, macam cinta segitiga. Selain masalah pengkotak-kotakan, orang Tionghoa sendiri juga masih nganut sistem "totok". Apa lagi itu Bang? Totok itu istilahnya Tionghoa tulen dari Tiongkok daratan, kimpoinya sesama Tionghoa totok juga, buadayanya masih budaya Tiongkok tulen. Yang totok ini status sosialnya lebih tinggi dari yang peranakan, dan status hukumnya itu hukum Eropa. Wah makin mbulet aja nih, Abang pusing :v Jadi kalo orang Tionghoa totok ini bikin kesalahan dan harus masuk pengadilan, doi bakalan diadili di pengadilan Belanda. FYI ya, hukum masa penjajahan Walondo juga dibagi berdasarkan ras. Orang bule masuk status hukum Eropa dan punya pengadilan sendiri, orang pribumi macam ane juga punya hukum dan pengadilan sendiri.
So, wijkenstelsel ini malah bikin kita sama sekali kurang akur dengan orang Tionghoa. Toh, sebenernya Walondo itu juga kebingungan karena cuman orang Tionghoa yang punya relasi baik dengan pedagang-pedagang pribumi. Jadi orang Tionghoa dalam kegiatan ekonomi itu sebagai penghubung antara Walondo dan pribumi. Yang bikin kesel nih ya, Walondo ternyata ga nyedia'in sarana pendidikan yang memadai bagi orang Tionghoa. Kalo yang kaya-kaya macam anak opsir Tionghoa sekolahnya jelas di sekolah-sekolah Belanda macem HBS, HMS, MULO, dan sebagainya. Nah kalo yang kere? (FYI, opsir Tionghoa itu jabatan tituler yang ada di wilayah wijkenstelsel Tionghoa yang fungsinya ngatur komunitasnya sendiri. Pangkatnya mulai dari Letnan - Kapten - Mayor)
Nah maka dari itu di Batavia sono pada tahun 1900 komunitas Tionghoa mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). THHK ini singkatnya adalah perkumpulan Tionghoa rantau. Awalnya sih ga ngurusin pendidikan, cuman ngurusi budaya aja. Mereka pengen orang Tionghoa itu kembali ke ajaran Konfusianisme yang bener. Tapi akhirnya pada tahun 1901 mereka mendirikan the first Chinese school in Java. Sekolah ini terkenal dengan sebutan Sekolah THHK, yang berlokasi di Patekokan. Inilah asal mula kemunculan sekolah-sekolah THHK yang ada di Nusantara, termasuk nantinya juga di Mojokerto...
Skip-skip-skip, memasuki tahun 1800-an pemerintah kolonial Walondo mulai nerapin kebijakan "aneh" yang dikenal dengan istilah wijkenstelsel. Wijkenstelsel itu semacem kebijakan yang mengharuskan sebuah kota dibagi tempat tinggalnya berdasarkan ras ato suku. Wow, jadi waktu Walondo nerapin politik pecah belah dan pengkotakan sama bangsa-bangsa yang hidup di Nusantara, khususnya Jawa. Nah ini loh Dek, asal muasal kenapa orang Tionghoa itu (maaf) agak sentimen ke orang-orang pribumi dan juga sebaliknya. Masalahnya itu kompleks, macam cinta segitiga. Selain masalah pengkotak-kotakan, orang Tionghoa sendiri juga masih nganut sistem "totok". Apa lagi itu Bang? Totok itu istilahnya Tionghoa tulen dari Tiongkok daratan, kimpoinya sesama Tionghoa totok juga, buadayanya masih budaya Tiongkok tulen. Yang totok ini status sosialnya lebih tinggi dari yang peranakan, dan status hukumnya itu hukum Eropa. Wah makin mbulet aja nih, Abang pusing :v Jadi kalo orang Tionghoa totok ini bikin kesalahan dan harus masuk pengadilan, doi bakalan diadili di pengadilan Belanda. FYI ya, hukum masa penjajahan Walondo juga dibagi berdasarkan ras. Orang bule masuk status hukum Eropa dan punya pengadilan sendiri, orang pribumi macam ane juga punya hukum dan pengadilan sendiri.
So, wijkenstelsel ini malah bikin kita sama sekali kurang akur dengan orang Tionghoa. Toh, sebenernya Walondo itu juga kebingungan karena cuman orang Tionghoa yang punya relasi baik dengan pedagang-pedagang pribumi. Jadi orang Tionghoa dalam kegiatan ekonomi itu sebagai penghubung antara Walondo dan pribumi. Yang bikin kesel nih ya, Walondo ternyata ga nyedia'in sarana pendidikan yang memadai bagi orang Tionghoa. Kalo yang kaya-kaya macam anak opsir Tionghoa sekolahnya jelas di sekolah-sekolah Belanda macem HBS, HMS, MULO, dan sebagainya. Nah kalo yang kere? (FYI, opsir Tionghoa itu jabatan tituler yang ada di wilayah wijkenstelsel Tionghoa yang fungsinya ngatur komunitasnya sendiri. Pangkatnya mulai dari Letnan - Kapten - Mayor)
Nah maka dari itu di Batavia sono pada tahun 1900 komunitas Tionghoa mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). THHK ini singkatnya adalah perkumpulan Tionghoa rantau. Awalnya sih ga ngurusin pendidikan, cuman ngurusi budaya aja. Mereka pengen orang Tionghoa itu kembali ke ajaran Konfusianisme yang bener. Tapi akhirnya pada tahun 1901 mereka mendirikan the first Chinese school in Java. Sekolah ini terkenal dengan sebutan Sekolah THHK, yang berlokasi di Patekokan. Inilah asal mula kemunculan sekolah-sekolah THHK yang ada di Nusantara, termasuk nantinya juga di Mojokerto...
(to be continued...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar